Kamis, 04 Desember 2014

Cerpen : Draw and Pen


Draw n’ Pen

Seorang gadis berjalan menyusuri jalanan sepi sebuah pemakaman dengan masih memakai seragam sekolah. Vetyara Meylan, itulah tulisan yang tertera di name tag yang terpasang di bajunya.
            Tap... tap...
            Ia segera mempercepat langkahnya ketika melihat sebuah objek yang ia tuju.
“Halo... Ibu, apa kabar??” sapanya dengan siluet bulan sabit yang mengembang di bibirnya.
            Ia duduk di samping batu nisan itu, dan mengeluarkan sebuah buku lalu membacanya ayat – ayat yang tertera pada buku itu dengan khidmat. Matanya menatap sendu ke arah batu nisan itu, pelupuk matanya sudah mulai basah.
            Drrrtt....drrrtt
            Getaran Handphone memaksanya untuk segera menghapus jejak – jejak air mata yang sedari tadi mengalir membasahi pipi gempalnya.
“Ada apa?”
“Mey, sory ya nanti malem aku nggak bisa nemenin kamu pergi ke pameran, soalnya mendadak adikku sakit, dan aku harus jagain dia dulu” suara di seberang tampak takut
“Oohh, ya udah nggak apa – apa, aku bisa ke sana sendiri kok, semoga adikmu cepet sembuh yaa...”
“Sekali lagi aku minta maaf ya, Mey..”
“Iya, nggak apa – apa kok, kalo gitu aku tutup dulu ya teleponnya. Bye”.
            Meylan atau Mey, begitulah ia biasa dipanggil. Ia melirik ke pergelangan tangannya untuk memastikan waktu agar dia tidak telat datang ke pameran. Waktu menunjukkan pukul 15.10, dan dia memutuskan untuk segera pulang. Ia kembali menyusuri jalanan sepi itu lagi, hingga matanya menangkap sebuah objek yang berhasil membuat pupil matanya membesar.
“HEI... APA YANG KAU LAKUKAN ??!!” bentaknya seketika
“Bukan urusanmu!!” balas gadis itu acuh
“Bagaimana bisa itu bukan urusanku, kamu mau gantung diri di depanku dan bilang itu bukn urusanku?? Hahh ?!”
“Terserahlah”
“Ayolah kawan, tak ada masalah yang tak bisa kita selesaikan” Meylan coba menenangkan gadis itu, dan ia berencana untuk meyambar gadis itu ketika lengah.
“Kau tidak akan mengerti!” tangisnya tiba – tiba meledak. Seketika itu juga Meylan menyambar tubuh gadis itu hingga keduanya bergulingan di tanah pemakaman.
            Gadis itu terisak memeluk batu nisan di sampingnya. Gadis itu tak beranjak sedikitpun,  Meylan tak sampai hati untuk meninggalkan gadis itu di tempat seperti ini. Dia memutuskan untuk menemani gadis itu dan merelakan pameran yang ia nantikan. Keduanya disandera kebisuan selama beberapa waktu, hingga Meylan mencoba untuk memecah keheningan.
“Kalau boleh tau, kamu ada masalah apa sih?? Kalau kamu mau cerita sihh, kalau nggak juga nggak apa – apa kok” tanyanya sehalus mungkin agar tak menyakiti perasaan gadis itu. Namun, gadis itu hanaya diam dan menatap Meylan dari ujung rambut sampai kaki.
“Dia... kakakku....”
“Jadi... kakakmu sudah....??”
“Ya, kakakku meninggal karena kebakaran” jawabnya semakin lirih.
“Ayah?? Ibu??”
“Mereka juga sudah berbeda alam denganku sejak aku berumur 13 tahun, di dunia ini aku hanya punya kakak, namun Tuhan lagi – lagi memanggilnya.” Air matanya mulai menetes membasahi mata cekungnya. Meylan hanya terdiam,  di dalam hati ia berseru “ kita sama, kita sebatangkara di dunia fana ini”.
“Nama kamu siapa? Namaku Vetyara Meylan, bisa dipanggil Mey atau Meylan” tanya Meylan dengan mengulurkan tangan
“Namaku Bella, Bella Nadya..”  menjabat tangan Meylan.
“Bolehkah aku memanggilmu Lana??”
Mendengar hal itu Bella tersentak, namun ia segera menutupi kekagetannya dengan seulas senyum.
“Ahh.. iya boleh kok, kalian sama”.
“Sama?? Sama kayak siapa??” Meylan keheranan mendengar pernyataan Bella / Lana
“Sama kayak kakakku, dia juga memanggilku Lana, katanya supaya spesial” jawabnya dengan senyum getir.
“Apakah aku membuatmu teringat kembali kepada kakakmu?? Apakah aku sebaiknya memanggilmu Bella atau Nadya??” Meylan merasa bersalah karena ia kembali mengingatkan Bella kepada kakaknya.
“Nggak apa – apa kok, aku malah suka kalau ada yang manggil aku Lana”
“Lana, aku memang tidak pandai merangkai kata – kata, tetapi aku hanya ingin menyampaikan kalau kamu mau menangis menangislah dengan begitulah kamu bisa menikmati hidup, dan jika tak ada bahu untuk bersandar masih ada pijakan untuk bersujud kepada Allah SWT”.
            Air mata Lana mengalir semakin deras, sedangkan Meylan bingung mau berbuat apa, ia hanya menepuk – nepuk pundak Lana dengan tujuan agar Lana bisa sedikit tenang. Sudah berjam – jam mereka habiskan di tempat pemakaman itu. Hanya mereka berdua dan diiringi alunan musik alam, dan sesekali terdengar suara burung hantu.
“Lana...”
“Iya...”
“Kita sebenernya punya nasib sama kok”
“Maksudnya??”
“Aku juga sebatang kara di dunia ini”
“Jadi.....”
Flashback
Meylan berlari sekuat tenaga untuk mengejar dan memblok lawanyya. Bulir – bulir keringat menetes membasahi seluruh tubuhnya. Dan akhirnya ia berhasil mencuri bola dari lawannya, dan mendriblenya ke lapangan lawan dan berusaha mencetak angka. Ia bertekad untuk memenangkan pertandingan final ini. Namun, sayang, ia didorong dan dijegal lawannya hingga tersungkur mencium lantai. Ia merasakan sakit yang luar basa di lututnya, namun ia tak manghiraukannya.
            Two shoot SMP Teiko
Ia memutuskan untuk melalukan tembakan freethrow dan berharap bisa mencetak angka dan mampu mengubah keadaan. Tembakan yang pertama sudah dilakukan, namun takdir berkehendak lain, tembakannya meleset, rasa sakit di lututnya semakin menjadi. Kakinya bergetar saat berlutut dan dengan sisa tenaga yang ada ia mencoba untuk melakukan tembakan yang kedua.
            One point for SMP Teiko
Perjungannya membuahkan hasil, dia berhasil mencetak satu angka untuk timnya, dan sekarang kedudukan seri.
            Prrrrtttt...
Tiupan peluit panjang menadakan berakhirnya pertandingan ini. Dan Meylan mampu melawan rasa sakitnya hingga akhir. Walaupun, setelah pertandingan itu kakinya sulit untuk melangkah. Saat itu juga ia dibawa ke rumah sakit terdekat agar cepat mendapat penanganan. Dia divonis tidak bisa bermain basket lagi, bahkan untuk berlaripun ia tak bisa sekencang dulu, dia tak bisa melompat setinggi dulu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah peribahasa yang dapat menggambarkan keadaan Meylan sekarang. Ibunya mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju rumah sakit, dan ibunya harus meregang nyawa saat itu juga. Perasaannya tak karuan saat itu, bahagia karena timnya menjadi juara 1, kecewa karena ia tidak bisa bermain basket lagi, dan sedih ketika mengetahui bahwa seseorang yang sangat a sayangi telah berpulang.
            Setelah kejadian malam itu, hidupnya tak karuan, dia mulai sering membolos, menghabiskan waktu di makam ibunya sepanjang hari. Hingga suatu saat ia tersadar dan mulai menata ulang hidupnya, karena dia tidak bisa bermain basket lagi dan cita – citanya untuk menjadi atlet basket pupus, ia memutuskan untuk menekuni bidang lain, yaitu seni rupa, ia hanya belajar otodidak, melihat cara orang menggambar lalu mempraktekkannya. Entah karena kepepet atau memang sudah bakat alami ia mampu menggambar wajah seseorang lalu menjualnya. Puing – puing semangat hidupnya mulai ia susun, berharap mampu menjalani hidup dengan lebih baik dan tidak menangisi nasib.
Flashback end
“Ya.. kira – kira seperti itulah kisah hidupku 2 tahun lalu, meneydihkan bukan??”
Lana tak bisa berkata – kata, matanya menatap lurus kearah Meylan seakan tak percaya, membuatnya bertanya – tanya, gadis seperti apa Meylan itu? Setelah mendengar cerita Meylan, Lana tersadar dan akan menta kembali hidupnya yang sempat porak – poranda, ia juga ingin membuktikan kepada kakaknya bahwa ia bisa menjadi seorang penulis terkenal.
“Ngomong – ngomong... cita – citamu apa sih?”
“Kenapa emang?”
“Cuman nanya sihh..”
“Penulis, aku ingin jadi penulis hebat”
“wah... cita – citamu hebat”
“Ah, kamu bisa aja..”
“Omong – omong kamu nggak pulang nih?? Udah lewat adzan maghrib lho, emang nggak takut apa di kuburan malem – malem??”
“Hahaha... ya udah kalau kamu mau pulang, pulang aja duluan, aku masih pengen di sini”
“Kalau kamu nggak pulang, aku juga nggak pulang”
“Lhoh kok gitu??”
“Aku takut kamu ngelakuin hal – hal nggak bermutu lagi...”
“Oke deh, kita pulang, emang kamu tinggal di mana?”
“Aku kos di deket JEC, kamu??
“Wah... deket dong, rumahku juga deket – deket situ”
“Ya udah, kita bareng aja pulangnya”.
            Setelah pertemun singkatnya dengan Lana malam itu, mereka jadi sering menghabiskan waktu bersama, mereka sering mengarang cerita bersama, Lana membuat dalam versi tulisan, sedangkan Meylan membuat versi gambarnya. Lana berencana untuk mengangkat kisah hidup mereka dalam sebuah judul buku, sedangkan Meylan berencana untuk membuat sebuah komik dan mengangkat masalah yang sama dengan Lana, dan mereka sepakat untuk memberi judul “Draw n’ Pen” yang berarti mereka berdua, Draw merupakan bakat yang dimiliki Meylan, Pen merupakan alat untuk menulis, atau bisa diartikan Lana.


**********