Draw n’ Pen
Seorang gadis berjalan
menyusuri jalanan sepi sebuah pemakaman dengan masih memakai seragam sekolah.
Vetyara Meylan, itulah tulisan yang tertera di name tag yang terpasang di
bajunya.
Tap...
tap...
Ia
segera mempercepat langkahnya ketika melihat sebuah objek yang ia tuju.
“Halo... Ibu, apa kabar??” sapanya dengan siluet
bulan sabit yang mengembang di bibirnya.
Ia
duduk di samping batu nisan itu, dan mengeluarkan sebuah buku lalu membacanya
ayat – ayat yang tertera pada buku itu dengan khidmat. Matanya menatap sendu ke
arah batu nisan itu, pelupuk matanya sudah mulai basah.
Drrrtt....drrrtt
Getaran
Handphone memaksanya untuk segera menghapus jejak – jejak air mata yang sedari
tadi mengalir membasahi pipi gempalnya.
“Ada apa?”
“Mey, sory ya nanti malem aku nggak bisa nemenin
kamu pergi ke pameran, soalnya mendadak adikku sakit, dan aku harus jagain dia
dulu” suara di seberang tampak takut
“Oohh, ya udah nggak apa – apa, aku bisa ke sana
sendiri kok, semoga adikmu cepet sembuh yaa...”
“Sekali lagi aku minta maaf ya, Mey..”
“Iya, nggak apa – apa kok, kalo gitu aku tutup dulu
ya teleponnya. Bye”.
Meylan
atau Mey, begitulah ia biasa dipanggil. Ia melirik ke pergelangan tangannya
untuk memastikan waktu agar dia tidak telat datang ke pameran. Waktu menunjukkan
pukul 15.10, dan dia memutuskan untuk segera pulang. Ia kembali menyusuri
jalanan sepi itu lagi, hingga matanya menangkap sebuah objek yang berhasil
membuat pupil matanya membesar.
“HEI... APA YANG KAU LAKUKAN ??!!” bentaknya
seketika
“Bukan urusanmu!!” balas gadis itu acuh
“Bagaimana bisa itu bukan urusanku, kamu mau gantung
diri di depanku dan bilang itu bukn urusanku?? Hahh ?!”
“Terserahlah”
“Ayolah kawan, tak ada masalah yang tak bisa kita
selesaikan” Meylan coba menenangkan gadis itu, dan ia berencana untuk meyambar
gadis itu ketika lengah.
“Kau tidak akan mengerti!” tangisnya tiba – tiba
meledak. Seketika itu juga Meylan menyambar tubuh gadis itu hingga keduanya
bergulingan di tanah pemakaman.
Gadis
itu terisak memeluk batu nisan di sampingnya. Gadis itu tak beranjak
sedikitpun, Meylan tak sampai hati untuk
meninggalkan gadis itu di tempat seperti ini. Dia memutuskan untuk menemani
gadis itu dan merelakan pameran yang ia nantikan. Keduanya disandera kebisuan
selama beberapa waktu, hingga Meylan mencoba untuk memecah keheningan.
“Kalau boleh tau, kamu ada masalah apa sih?? Kalau
kamu mau cerita sihh, kalau nggak juga nggak apa – apa kok” tanyanya sehalus
mungkin agar tak menyakiti perasaan gadis itu. Namun, gadis itu hanaya diam dan
menatap Meylan dari ujung rambut sampai kaki.
“Dia... kakakku....”
“Jadi... kakakmu sudah....??”
“Ya, kakakku meninggal karena kebakaran” jawabnya
semakin lirih.
“Ayah?? Ibu??”
“Mereka juga sudah berbeda alam denganku sejak aku
berumur 13 tahun, di dunia ini aku hanya punya kakak, namun Tuhan lagi – lagi
memanggilnya.” Air matanya mulai menetes membasahi mata cekungnya. Meylan hanya
terdiam, di dalam hati ia berseru “ kita
sama, kita sebatangkara di dunia fana ini”.
“Nama kamu siapa? Namaku Vetyara Meylan, bisa
dipanggil Mey atau Meylan” tanya Meylan dengan mengulurkan tangan
“Namaku Bella, Bella Nadya..” menjabat tangan Meylan.
“Bolehkah aku memanggilmu Lana??”
Mendengar hal itu Bella tersentak, namun ia segera
menutupi kekagetannya dengan seulas senyum.
“Ahh.. iya boleh kok, kalian sama”.
“Sama?? Sama kayak siapa??” Meylan keheranan
mendengar pernyataan Bella / Lana
“Sama kayak kakakku, dia juga memanggilku Lana,
katanya supaya spesial” jawabnya dengan senyum getir.
“Apakah aku membuatmu teringat kembali kepada
kakakmu?? Apakah aku sebaiknya memanggilmu Bella atau Nadya??” Meylan merasa
bersalah karena ia kembali mengingatkan Bella kepada kakaknya.
“Nggak apa – apa kok, aku malah suka kalau ada yang
manggil aku Lana”
“Lana, aku memang tidak pandai merangkai kata –
kata, tetapi aku hanya ingin menyampaikan kalau kamu mau menangis menangislah
dengan begitulah kamu bisa menikmati hidup, dan jika tak ada bahu untuk
bersandar masih ada pijakan untuk bersujud kepada Allah SWT”.
Air
mata Lana mengalir semakin deras, sedangkan Meylan bingung mau berbuat apa, ia hanya
menepuk – nepuk pundak Lana dengan tujuan agar Lana bisa sedikit tenang. Sudah
berjam – jam mereka habiskan di tempat pemakaman itu. Hanya mereka berdua dan
diiringi alunan musik alam, dan sesekali terdengar suara burung hantu.
“Lana...”
“Iya...”
“Kita sebenernya punya nasib sama kok”
“Maksudnya??”
“Aku juga sebatang kara di dunia ini”
“Jadi.....”
Flashback
Meylan
berlari sekuat tenaga untuk mengejar dan memblok lawanyya. Bulir – bulir
keringat menetes membasahi seluruh tubuhnya. Dan akhirnya ia berhasil mencuri
bola dari lawannya, dan mendriblenya ke lapangan lawan dan berusaha mencetak
angka. Ia bertekad untuk memenangkan pertandingan final ini. Namun, sayang, ia
didorong dan dijegal lawannya hingga tersungkur mencium lantai. Ia merasakan
sakit yang luar basa di lututnya, namun ia tak manghiraukannya.
Two shoot SMP Teiko
Ia
memutuskan untuk melalukan tembakan freethrow dan berharap bisa mencetak angka
dan mampu mengubah keadaan. Tembakan yang pertama sudah dilakukan, namun takdir
berkehendak lain, tembakannya meleset, rasa sakit di lututnya semakin menjadi.
Kakinya bergetar saat berlutut dan dengan sisa tenaga yang ada ia mencoba untuk
melakukan tembakan yang kedua.
One point for SMP Teiko
Perjungannya
membuahkan hasil, dia berhasil mencetak satu angka untuk timnya, dan sekarang
kedudukan seri.
Prrrrtttt...
Tiupan
peluit panjang menadakan berakhirnya pertandingan ini. Dan Meylan mampu melawan
rasa sakitnya hingga akhir. Walaupun, setelah pertandingan itu kakinya sulit
untuk melangkah. Saat itu juga ia dibawa ke rumah sakit terdekat agar cepat
mendapat penanganan. Dia divonis tidak bisa bermain basket lagi, bahkan untuk
berlaripun ia tak bisa sekencang dulu, dia tak bisa melompat setinggi dulu.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah peribahasa yang dapat menggambarkan
keadaan Meylan sekarang. Ibunya mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju
rumah sakit, dan ibunya harus meregang nyawa saat itu juga. Perasaannya tak karuan
saat itu, bahagia karena timnya menjadi juara 1, kecewa karena ia tidak bisa
bermain basket lagi, dan sedih ketika mengetahui bahwa seseorang yang sangat a
sayangi telah berpulang.
Setelah kejadian malam itu, hidupnya
tak karuan, dia mulai sering membolos, menghabiskan waktu di makam ibunya
sepanjang hari. Hingga suatu saat ia tersadar dan mulai menata ulang hidupnya,
karena dia tidak bisa bermain basket lagi dan cita – citanya untuk menjadi
atlet basket pupus, ia memutuskan untuk menekuni bidang lain, yaitu seni rupa,
ia hanya belajar otodidak, melihat cara orang menggambar lalu mempraktekkannya.
Entah karena kepepet atau memang sudah bakat alami ia mampu menggambar wajah
seseorang lalu menjualnya. Puing – puing semangat hidupnya mulai ia susun, berharap
mampu menjalani hidup dengan lebih baik dan tidak menangisi nasib.
Flashback
end
“Ya.. kira – kira seperti itulah kisah hidupku 2
tahun lalu, meneydihkan bukan??”
Lana tak bisa berkata – kata, matanya menatap lurus
kearah Meylan seakan tak percaya, membuatnya bertanya – tanya, gadis seperti
apa Meylan itu? Setelah mendengar cerita Meylan, Lana tersadar dan akan menta
kembali hidupnya yang sempat porak – poranda, ia juga ingin membuktikan kepada
kakaknya bahwa ia bisa menjadi seorang penulis terkenal.
“Ngomong – ngomong... cita – citamu apa sih?”
“Kenapa emang?”
“Cuman nanya sihh..”
“Penulis, aku ingin jadi penulis hebat”
“wah... cita – citamu hebat”
“Ah, kamu bisa aja..”
“Omong – omong kamu nggak pulang nih?? Udah lewat
adzan maghrib lho, emang nggak takut apa di kuburan malem – malem??”
“Hahaha... ya udah kalau kamu mau pulang, pulang aja
duluan, aku masih pengen di sini”
“Kalau kamu nggak pulang, aku juga nggak pulang”
“Lhoh kok gitu??”
“Aku takut kamu ngelakuin hal – hal nggak bermutu
lagi...”
“Oke deh, kita pulang, emang kamu tinggal di mana?”
“Aku kos di deket JEC, kamu??
“Wah... deket dong, rumahku juga deket – deket situ”
“Ya udah, kita bareng aja pulangnya”.
Setelah
pertemun singkatnya dengan Lana malam itu, mereka jadi sering menghabiskan
waktu bersama, mereka sering mengarang cerita bersama, Lana membuat dalam versi
tulisan, sedangkan Meylan membuat versi gambarnya. Lana berencana untuk
mengangkat kisah hidup mereka dalam sebuah judul buku, sedangkan Meylan
berencana untuk membuat sebuah komik dan mengangkat masalah yang sama dengan
Lana, dan mereka sepakat untuk memberi judul “Draw n’ Pen” yang berarti mereka
berdua, Draw merupakan bakat yang dimiliki Meylan, Pen merupakan alat untuk
menulis, atau bisa diartikan Lana.
**********